NHW 2 Kelas IIP: Indikator Profesionalisme Wanita (versi saya)

ibuprofesionallogo

Sepertinya ini konspirasi semesta deh. Kenapa hayo tiba-tiba nulis begitu? Jadi di akhir pekan lalu, saya mendapati sebuah fakta bahwasannyaaa… ternyata saya punya banyak kekurangan. Alhamdulillah banget sebenernya, dapat reminder ini. Kenapa? Karena di tengah rempongnya mengurus rilis dan marketing buku 2 pekan terakhir ini, saya jadi lalai merenung dan mengkoreksi diri. Alhamdulillah, karena di tengah kerempongan itu saya masih diberi taufik oleh Allah untuk berdoa “Semoga Allah tetap menjagaku untuk selalu rendah hati dan gak merasa sempurna” kira-kira begitu doanya. Kenapa saya berdoa seperti itu? Karena manusia nih punya bakat lupa diri kalo lagi seneng (dan jadi pintu masuknya setan). Jadi doa tersebut bisa jadi penyeimbang di tengah euphoria dan kegembiraan atas lahirnya anak buku pertama. Heheh.

Terus konspirasinya apa?

Konspirasi pertama.

Jadi kemarin saya disuruh belajar tentang pentingnya empati dan simpati. Melalui apa? Melalui pergunjingan dan komplain orang lain terhadap beberapa kelalaian saya. Sebenarnya itu kelalaian itu tidaklah disengaja, sama sekali tanpa niatan demikian. Saya mendengar itu melalui salah seorang teman dekat yang kebetulan mendengar komplain tersebut. Alhamdulillah masih bisa diperbaiki.

Kemudian saya merenung lagi, rasanya sudah beberapa kali saya kena tegur perihal kecerobohan itu. Maka, saya akhirnya menyimpulkan bahwa saya memang memiliki kekurangan dalam hal ini. Mungkin, sifat saya yang terlalu achiever dan kadang terlalu fokus cukup mempengaruhi trait ini. Meskipun saya selalu berusaha meningkatkan empati dan simpati, mungkin itu masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan emosi orang lain.

Anyway, terlepas dari fakta bahwa kita tidak bisa membahagiakan semua orang, saya akhirnya memilih untuk menyikapi ini secara positif: saya ingin menjadi pribadi yang penuh empati, simpati, dan bertenggang rasa terhadap kondisi orang lain; serta mewujudkannya dalam aksi nyata (bukan Cuma kasian kasian non solutif).

Konspirasi kedua.

Jadi selama 3 tahun menjadi ibu, saya termasuk yang galak terhadap aturan tentang paparan gadget ke anak. Mas Fatih sekarang sudah berusia 3 tahun 1 bulan, dan sedang gandrung sekali dengan serial anak-anak di youtube. Mesikpun saya selalu mengawasi saat dia nonton, tapi tetep saja ada perbedaan karakternya. Memang, ada salah saya juga sih karena sempat kendor di 6 bulan terakhir ini. Apalagi pas beberapa bulan lalu sempat dititipin ke neneknya 2.5 bulan. Sudah deh, broll semua rem gadgetnya. Selama 6 bulan ini saya mengamati adanya perubahan perilaku Mas Fatih. Dia jadi lebih agresif, tidak sabaran, gampang baper dan insecure. Oh no, Ku tak mau dia jadi manusia galau gak pedean dan insecure.

Awalnya saya sempet ragu, beneran nggak sih ini karena paparan dan penggunaan gadget berlebihan. Saya juga maju mundur nih mau menggalakkan aturan lagi dengan meng-un-instal aplikasi youtube di gadget saya (dan hanya mengaktifkan lagi saat weekend). Akhirnya, setelah kegalauan dan diskusi dengan suami (yang mana beliau bersikap yaudah percaya mamanya aja); saya membulatkan tekad untuk jadi galak lagi. Hahah. Konsekuensinya, saya harus siap tenaga, mental, dan pikiran yang hadir 100% saat si kecil bangun dan ngajak main. Which is sangat menguras tenaga.

Kenapa sih akhirnya saya berkeputusan itu? Karena setelah menonton 2 tayangan ini, saya jadi mikir. Saya mikir, teknologi itu harusnya membuat manusia lebih manusiawi dan berkembang, bukan mematikan kemanusiaannya. Dan saya nggak mau penggunaan gadget terlalu banyak dan menimbulkan ketagihan membuat Mas Fatih tidak menjadi manusia yang utuh (dan kaya empati) – balik lagi ke konspirasi pertama ya hehe.

Jadi, di tayangan itu dijelaskan bahwa anak-anak yang kecanduan gadget itu kecerdasannya bisa menurun, terutama kecerdasan emosinya. Mungkin sebenarnya secara genetis dia sangat cerdas intektualnya, tapi karena kecanduan gadget dan efek banjir dopamine yang dihasilkan, ia jadi lebih agresif dan EQ-SQ nya kurang oke. Sebagai mamak yang telah mengalami pahit manis asam getir kehidupan, saya menjunjung tinggi dan mengamini bahwa kecerdasan emosi dan sosial jauh lebih penting dalam kesuksesan hidup manusia dibandingkan (hanya) kecerdasan intektual.

That’s why saya sekarang membulatkan tekad dan menyiapkan mental untuk jadi galak lagi. Goalnya seperti apa?

Saya hanya akan mengaktifkan youtube di akhir pekan dan akan lebih banyak berinteraksi nyata dengan anak (misalnya membaca buku, ke perpustakaan, prakarya, main ke taman, dan bikin kue bareng). Menurut saya, itu akan meningkatkan bonding antara ibu dan anak, serta meningkatkan kualitas komunikasi kami untuk jangka panjang. Semoga dengan ikhtiar ini Mas Fatih jadi lebih antusias untuk (kembali) belajar sholat, alquran, dan mengenal Allah.

(fyi, iya, dulu dia manis banget lho sebelum mengenal youtube terlalu banyak dan saya dulu galak banget hanya mengizinkan dia nonton youtube 2 jam setiap pekan)

Placeholder Image
milih gambar ini karena menimbulkan efek tenang (:D)

Konspirasi ketiga.

Jadi istri setenang malam. Apaan nih? Jadi saya pernah mendapatkan nasehat tentang peran istri terhadap suaminya dalam berumah tangga. Yaitu, menjadi penenang; dan memberikan ruang yang luas bagi suami untuk jadi pemenang.

Saya kira itu gampang. Aslinya allahuakbar, jihad banget. Apalagi manusia achiever macam saya gini. Antara gak mau kalah sama nggak mau sama kayak orang.

Kenapa malam? Karena suasana malam itu hening, tenang, sunyi, dan damai. Jauh dari hiruk pikuk kesibukan dunia. Bahkan malam sangat special karena ada masanya ketika Allah turun ke langit dunia. Dan seorang istri yang setenang malam itu, diibaratkan perempuan yang tenang dan bisa jdi tempat istirahat bagi suaminya. Meletakkan penatnya dan mengisi ulang tenaga serta semangatnya. Indah banget kan. Which is beda banget sama saya yang orangnya sebenderang waktu dhuha. 😀 Karena saya gak se morning person itu, tapi juga gak sepanas siang hari juga sih.

Nasehat itu saya peroleh di awal pernikahan. Ketika bunga-bunga musim semi cinta tengah berkembang dan mewangi. Lupa dengan duri dan aral yang haris diwaspadai. Maka setelah 4 tahun pernikahan kami, saya belajar banyak untuk terus menjadi istri setenang malam.

Alhamdulillah suami saya adalah sosok yang sangat supportif terhadap pengembangan diri dan aktualisasi seluruh anggota keluarga. Komitmen kami sebelum menikah adalah sebuah keluarga harus bisa berkembang sebagai satu tim dan sebagai masing-masing individu. Maka ketika tawaran untuk kerja part time itu datang dan kesempatan menulis buku hadir di depan mata, suami dengan serta merta mendukung saya. Alhamdulillah ia percaya saya tetap bisa menjalani peran sebagai humas keluarga, ratu rumah tangga, dan direktur operasional (hampir semuanya kecuali benerin pipa bocor). Sehingga kami tetap bisa bahu membahu bagi kemajuan bersama.

Tapi, mendapatkan amanah di luar rumah seringkali menguras energi saya sehingga kadang saya tiba di rumah dalam keadaan lelah. Kalau hanya sekedar minta dipijat suami, itu bisa jadi momen ngobrol berdua. Tapi kalau sedang PMS dan maunya marah-marah, waduh bisa kacau dunia. Hal yang benar aja bisa jadi salah. Wkwk.

Oleh karena itu, saya menantang diri sendiri untuk bisa mengendalikan emosi dan menyampaikan kondisi secara asertif kepada suami. Kondisi apa? Kondisi exhausted terutama kalau lagi PMS supaya ia lebih siap dan jaga jarak. Saya juga belajar untuk bisa banyak mengapresiasi kerja keras dan kelebihan suami (yang kadang tidak terlihat kalau saya sedang devil PMS). Lalu bagaiman mengakalinya? Yakni dengan lebih banyak dzikir dan baca surat Alfatihah (menurut nasehat lama) untuk meminta ketenangan dan solusi dari Allah. Karena setiap masalah itu sejatinya sudah ada solusinya kan, tinggal minta aja yang sopan ke Allah.

Sepertinya itu dulu. Tapi, ada 1 prasyarat untuk bisa memenuhi target itu. Saya harus sehat lahir batin dan memiliki stamina jiwa raga yang kuat. Semoga Allah menguatkan saya.

-yang masih belajar jadi wanita shalihah

Regards,

signature yosay aulia blog

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s