Menjadi Orangtua yang Ikhlas

Ikhlas itu seperti air yang hanya “berputar” dari langit, menjadi hujan, dikotori, dimurnikan lagi menjadi awan; hanya untuk menghidupi.

 

Tulisan kali ini sebenarnya hanya sebuah katarsis dari ledakan pikiran dan uneg-uneg sih. Dari sekian curhatan dan pengalaman pribadi sebagai orangtua newbie. Menurut saya, kemampuan pertama yang harus dimiliki oleh semua orangtua adalah memurnikan keikhlasan.

Menurut Aa Gym, ikhlas berarti melakukan sebuah ibadah (bisa berupa perbuatan baik atau pengorbanan) untuk mencapai keridhoan Allah. Untuk menjalankan sebuah peran dengan sebaik-baiknya (ihsan).

Menjadi orangtua yang ikhlas

 

Keikhlasan tersebut – yang konon sungguh menantang untuk dimurnikan – bisa dimulai dari hal sesederhana (nomer 20 bikin kamu mikir) 🙂

  1. Ikhlas begadang demi menyusui, atau supply ASI tak sesuai harapan.
  2. Ikhlas mengeluarkan dana ekstra untuk keperluan bayi
  3. Ikhlas mengurangi jajan untuk kesenangan pribadi
  4. Ikhlas menghabiskan waktu 24 jam bersama rutinitas yang kadang membosankan
  5. Ikhlas waktu mandi atau ke toiletnya didiskon atau digedor-gedor.
  6. Ikhlas kehilangan “privasi”
  7. Ikhlas menunda sementara (atau banting setir) karir.
  8. Atau bisa juga ikhlas tidur lebih sebentar dan badan lebih pegel karena harus menjalani peran student mom atau working mom
  9. Ikhlas “repot” bikin menu MPASI kemudian dilempar dilepeh dan gak dimakan sama sekali (anyway ini semua fase pertumbuhan mom, jd santai aja cenah para ahli)
  10. Ikhlas gak tidur malam karena anak habis imunisasi, tumbuh gigi, demam, kena virus, masuk angin, batuk pilek, atau toilet training ga lulus lulus.
  11. Ikhlas pusing sedikit merencanakan keuangan untuk dana pendidikan
  12. Ikhlas rumah jadi kotor demi si kecil belajar dan eksplorasi
  13. Ikhlas dia tumbuh secepat itu
  14. Ikhlas dia udah punya temen baru, geng baru, dan mulai minta pendapat sahabat-sahabatnya
  15. Ikhlas dia udah tekun sama hobinya, ikut ekskul ini itu, jarang ada di rumah
  16. Ikhlas dia punya pendapat sendiri, pilihan sendiri, dan pertimbangan sendiri
  17. Ikhlas ketika dia udah ketemu calon pendamping hidupnya
  18. Ikhlas ketika dia akhirnya sampai ke fase hidup sebagai kepala keluarga/ ratu rumah tangga.
  19. Ikhlas ketika dia lebih percaya pendapat, teori, dan insting nya daripada saran kita saat mengasuh anaknya
  20. Ikhlas ketika dia memang harus pergi hidup mandiri bersama keluarga kecilnya.

Menurut saya, keikhlasan itu akan terus ditempa dan diajak naik kelas seiring berjalan waktu, seiring semua fase terlewati, dan tantangan baru dihadapi. Keikhlasan orangtua yang sudah memiliki 6 orang anak tentu beda dengan orangtua yang baru memiliki 1 orang anak. Menghadapi anak pra aqil baligh tentu membutuhkan keikhlasan yang berbeda dengan menghadapi balita. Keikhlasan dalam mempersiapkan pernikahan anak tentu beda dengan keikhlasan saat mempersiapkan hari pertama sekolahnya.

Satu hal yang saya yakini adalah:

anak-anak bukan milik kita, mereka milik Penciptanya. Semuanya sudah dijamin, disiapkan, dan ditentukan garisnya oleh Yang Menciptakan, Yang Memelihara, dan Yang Maha Mengetahui.

Misalnya dalam drama berjudul “MPASI 4 bintang vs GTM tiada akhir”. Kadang kita merasa kita sudah memberikan menu makanan terbaik buat sang anak. Tapi kenapa dia gak mau makan sama sekali malah makanannya dilempar-lempar. Sebenernya kalau lagi waras sih ya saya santai aja. Selalu mikir bahwa yaudahlah, emang belum waktunya kok. MPASI kan emang goalnya belajar makan, bukan banyak makan. Tapi kalau lagi PMS (trus nyalahin hormon), tanduknya keluar karena rumah jadi berantakan. Saya sebal terus menyesal.

Atau dalam kegalauan bertajuk “Anakku ingin Hidup Mandiri”. Mungkin orangtua merasa sudah menyiapkan segalanya, melimpahi kasih sayang tak terbatas sejak bayi hingga dewasa, kenapa sekarang saat dewasa ia ingin meninggalkan orangtuanya. Anak saya memang masih umur 4 tahun sih, belum tahu rasanya ketika dia menikah. Tapi saya berpikir; kalau saat ini saya sudah puas menghabiskan waktu bersamanya, mengisi jiwanya, dan menghujaninya dengan limpahan kasih sayang (bukan kemanjaan lho ya); apakah saya akan tetap tidak rela melepasnya hidup mandiri? Bukankah lebih “tega” kalau saya tidak memberinya ruang mengenal dirinya sendiri? Dan saya merasakan saat ini sebagai anak yang sudah menikah, ketika orangtua saya telah ikhlas melepas saya, justru saat itulah saya makin berbakti kepada mereka. Karena saya berterima kasih atas kepercayaan dan doanya yang saya yakin akan menjaga dalam petualangan yang baru.

Sebagai penutup, saya mau berbagi cerita dari salah seorang teman. Saya memanggilnya “Kakak”. Karena dia memang sosok kakak bagi saya yang mendidik sekaligus mengayomi. Suatu waktu dia berbagi tentang pengalamannya saat ia pertama kali mengetahui anak keduanya memiliki kebutuhan spesial. Di tahun itu, belum ada istilah “berkebutuhan khusus” atau “kaum difabel” atau “anak spesial”. Serta kondisi itu masih menjadi aib bagi sebagian orang. Dia bercerita betapa hancur dan putus harapannya saat itu. Karena ia tengah merantau bersama suaminya ke Kanada dalam kondisi hidup yang pas-pasan. Kemudian ia tersadar setelah temannya menegurnya, Sister, you only have two hands.. But ‘Allah’s Hands’ is stronger, wider, and beyond what you think..

Tangan kita memang hanya dua. Tapi “Tangan Allah” lebih luas, lebih kuat, dan lebih ‘besar’. Kita boleh berusaha, tapi percayalah dengan fitrah anak yang telah ditanamkan-Nya.

Termasuk saat belum laper, ogah makan, pipis sebelum bilang pipis,

Dan ingin hidup mandiri.

Sebagai orangtua, kita dididik Allah untuk ikhlas, menghapuskan perasaan paling tahu, ragu akan kebesaran-Nya, dan keegoisan pribadi.

101210-khalil-gibran-quote-your-children-are-not-your-children-they-are

And this is my favorite doa, Al Furqan: 74. Apapun perannya nanti, drama yang dihadapinya kelak, semoga ia menjadi manusia bertaqwa, penghias mata hati orangtuanya, dan pemimpin kaum yang bertaqwa.

Amin

 

Regards,

yosay aulia blog

11 thoughts on “Menjadi Orangtua yang Ikhlas

  1. Makjleb sekali rasanya baca tulisan ini
    Duh saya kadang (kayaknya malah sering) masih suka kecewa kalau anak melakukan sesuatu yang tak sesuai harapan
    Kalau lagi lempeng sih, nyantai aja karena tau tiap anak itu unik dan tak bisa dibandingkan satu sama lain
    Tapi kalau lagi gak nyantai, bisa keluar tanduk juga huhuhu

    Makasi pengingatnya mbak
    Masih harus banyak belajar jadi orang tua yang ikhlas

    Like

  2. Aamiiin YRA. Bagus insight tulisannya. Btw…saya udh smp no 20 euy. Di saya sih masih ada lanjutannya, ikhlas menerima para menantu (yg ternyata perilakunya beda ama anak², terus ngebatin kok mau ya ama dia, trus ngebatin lagi, yawdalah … yg ngejalanin hidup kan dia = anak² saya). Haha…Salam kenal…

    Like

  3. Kamu deep thinker bangeeeeeet … perenungannya aku suka … terutama dimasa2 berjuang beginih wkwkwk.. kadang suka sok kl dah lewat masa berjuangnya .. (lewat dr teman2 yg lain yg masih berjuang me asi misalnya…)

    Jd beranak lagi itu bikin kita kembali mengasah diri buat ikhlas terutama dijaman sekarang yg kita bisa liat kehidupan org yg bisa jadi ga sadar mengintervensi goal atau mindset kitah #curhat

    Like

  4. Kamu deep thinker bangeeeeeet … perenungannya aku suka … terutama dimasa2 berjuang beginih wkwkwk.. kadang suka sok kl dah lewat masa berjuangnya .. (lewat dr teman2 yg lain yg masih berjuang me asi misalnya…)

    Jd beranak lagi itu bikin kita kembali mengasah diri buat ikhlas terutama dijaman sekarang yg kita bisa liat kehidupan org yg bisa jadi ga sadar mengintervensi goal atau mindset kitah #curhat hahaha

    Like

  5. Setuju bgt sama quote diakhir itu yosaay..anak kita sebenernya bukan anak kita, dia sepenuhnya milik semesta… Kl aku masih blm bs nerima, kl anak perempuan nti kudu manut suami ikut suami, sementara kl anak laki masih milik ibunya…. Hmmm..krn ku blm pny nak lanang ku masih menganggap ini ketidakadilan. 😂

    Like

  6. Pingback: Menjadi orangtua yg ikhlas | riarifianti

Leave a comment