Tak Bisa Menunggu (2)

Jakarta, Desember 2013.

 

Assalamualaikum,

 

Setidaknya sekarang aku mengerti. Meskipun, setidaknya ini dari sudut pandangku. Mengapa engkau tidak pernah datang dan menyampaikan apa yang kau rasakan. Sebab aku tidak pernah pantas untuk itu. Untuk mendengarnya pun tidak, apalagi untuk bersanding denganmu. Kau mahasiswa berprestasi kampus ternama bangsa ini, kau menjadi ketua BEM fakultas, bahkan lebih lagi, kau menjadi pucuk pimpinan BEM kampus ternama itu. Aku ? Aku adalah perempuan beruntung yang diizinkan Tuhan untuk belajar darimu dan keluargamu. Keluargamu yang luar biasa inspiratif, setidaknya menurutku.

 

Kamu pernah tahu rasanya mendengarkan pertanyaan perihal kelajanganku sebagai seorang gadis, dari ayahmu ? Ayah dari seorang yang aku kagumi – bahkan lebih, aku mengakuinya – selama delapan tahun. Ya, delapan tahun aku memendam rasa dan mengagumimu dalam diam. Dalam doa. Dan berbagi kepada beberapa sahabat. Aku hanya diam. Aku merasa tidak pantas bahkan untuk bisa menyapamu. Kamu terlalu agung untukku.

 

Kemudian, ketika tetiba ayahmu menanyakan hal itu. Kemudian beberapa pekan kemudian kau menghadiri undangan buka puasa di rumahku. Kau tahu rasanya ? seperti melihat sinar mentari setelah musim salju berkepanjangan. Hangat dan bahagia. Kamu tahu rasanya ? Kala itu, sebagai seorang gadis yang akan meninggalkan tanah air dan kehidupannya di sana, yang merasa sangat gamang perihal adakah lelaki yang ingin mendampingiku, aku merasa melihat secercah harapan. Kamu tau rasanya ? Aku bahkan tidak pernah merasa se-terhormat dan sebahagia itu sebelumnya. Tapi kau tak kunjung mengatakannya. Kau tak kunjung menyampaikan. Apapun itu. Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari dirimu.

 

Setelah sekian lama, aku memendam semua itu. Aku memutusukan untuk mengakhiri semua kekaguman yang tak berarti itu. Sebab aku ingin menghadapi hidup yang baru. Aku tak ingin ada bayang-bayang tentang masa lalu di kehidupanku di negeri yang entah aku akan bertemu apa dan siapa. Hidup di negeri sekuler tanpa kawan hidup bukanlah hal mudah. Dan aku tidak ingin menambah pikiranku mengenai masa lalu. Aku ingin menapaki dan memahat cerita baru. Lalu, bila kemudian ada seorang laki-laki yang menyampaikan niat baiknya padaku, dengan penuh hormat dan tanggung jawab memintaku, setelah aku menyerahkan keputusannya kepada Allah, kemudian aku menerimanya… Apakah aku salah ?

 

Bila saat ini dia adalah lelaki yang akan menerima penyerahan pendidikan dan penjaminanku ke surga beberapa pekan lagi, apakah itu menjadi salah dan masalah bagimu ? Aku minta maaf bila memang demikian. Tapi, aku ingin sampaikan lagi, bahwa aku sudah menunggumu selama delapan tahun.

 

Setidaknya, aku berterima kasih. Telah memberikan aku kesempatan rasanya menjadi pungguk yang merindu rembulan. Aku tidak pernah merasa pantas bagimu, Tuan. Dan tentang keluargamu, aku merasa sangat terhormat untuk dengan beruntung mengenal mereka dan menjadi cerita baik bagi mereka. Aku berterima kasih juga padamu, Tuan. Bila aku mencoba melihat dari sudut pandangmu, mungkin kau ingin melindungiku dari ketidak pastian rasa. Dari hati yang berharap-harap cemas tidak tenang terhadap masa depan. Mungkin kau menjagaku bahkan pada dimensi yang sangat halus. Aku mengucapkan terima kasih, Tuan.

 

Saat ini, aku sudah berkeputusan. Semoga ini memang yang digariskan Tuhan. Maka jika aku tidak menjadi pendampingmu, artinya memang aku tidak pantas untuk itu. Artinya memang kau pantas menadapatkan kehidupan dan pendamping yang lebih baik dari diriku.

 

Terima kasih telah menjadi jalan bagiku , untuk mengenal diriku dan Tuhanku. Terima kasih telah memberi pelajaran tentang keluarga yang inspiratif.

 

Salam,

 

Riana.

 

 

Seorang lelaki meremas kertas yang baru saja diterimanya enam puluh menit lalu. Dibutuhkan enam puluh menit untuk membacanya berkali-kali dan memahaminya. Ah, maksudku menetralkan perasaan dan pikirannya. Menjernihkan pikiran untuk benar-benar bisa menangkap apa yang disampaikan di surat itu.

 

Lelaki yang dipanggil Tuan oleh Riana kemudian terduduk terdiam memandangi hamparan Tangkuban Parahu di hadapannya. Teras balkon di rumah megahnya memang menjadi tempat yang selalu menenangkan. Lelaki yang dipanggil Tuan oleh Riana hanya bisa tertunduk lemas. Lelaki yang dipanggil Tuan oleh Riana, yang mencapai masa kejayaan mudanya sedikit kehilangan kesadaran seraya bergumam nyaris berbisik. “Tidak tahukah engkau, bahwa selama delapan tahun ini, hanya namamu yang pernah hadir di pembicaraan keluargaku, yang menjadi titik terlemahku, setelah ibuku. Bahkan ibuku telah mencintaimu dan mengingat tanggal lahirmu. Dan aku, lelaki yang cukup beruntung untuk selalu termotivasi oleh dirimu. Hingga apa yang kucapai saat itu.

 

Di sepotong tempat bernama Jakarta, gadis ayu bernama Riana tengah bersujud panjang, memohon kejernihan hati. Pada duha yang kesekian ratus dalam hidupnya. Beberapa pekan mendatang, ada seorang lelaki yang diperbolehkan Rasulullah menerima sujudnya atas kesalahannya sebagai istri kelak.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s