Perempuan Rantau (2): Rumah Tangga

Kalo habis s2 ini ga ada yang mau nikah sama aku.. Mau minta dijodohin aja lah sama bapak..

Itulah kegalauan saya ketika akan berangkat melanjutkan pendidikan master di Belgia, namun masih belum menikah. Saat itu saya masih berpikir bahwa perempuan berpendidikan tinggi itu ditakuti lelaki, sehingga saya putus asa dalam hal itu.

Alhamdulillah kepasrahan tingkat dewa itu rupanya membuat Allah Yang Maha Pengasih semakin welas asih sehingga justru ketika menjalani S-2 lah saya bertemu calon suami. (Well sebenarnya dia teman SMA saya, tapi itu ceritanya panjang lagi).

Oke, terlepas dari fakta tersebut, ada hal yang tersembunyi dan jarang terdedah ke masyarakat. Bahwa tujuan pendidikan sejatinya adalah menghujamkan adab dan martabat lebih dalam daripada ilmu. Ya, menyucikan kebeningan hati di samping ketajaman akal pikiran agar mampu menghasilkan keterampilan fisik. Jadi, aspek hati akal dan fisik diasah agar bisa mumpuni dan bersinergi.

Betapa pentingnya aspek adab ini sehingga Imam Syafii menasehati muridnya : jadikanlah adab sebagai tepung dan ilmu sebagai garam, dan jangan sebaliknya. (Sebagai ibu rumah tangga yang cukup sering gagal di dapur, saya tahu betul betapa hancurnya rasa adonan yang garamnya lebih banyak daripada tepungnya).

Bung Hatta pun pernah berkata bahwa kurang pandai bisa diobati dengan belajar, kurang terampil bisa diobati dengan berlatih, sedangkan kurang jujur…aduuh bahaya betul itu.

Rhenald kasali dalam bukunya (Self Driving,2014) pun berkali-kali menyebutkan bahwa yang menentukan seseorang menjadi good atau bad driver adalah kualitas hatinya. Jika hatinya buruk atau ada luka yang belum sembuh, maka dapat dipastikan ada motivasi yang kurang sehat dalam perjalanan kemudinya. Bila hatinya bersih dan sehat, maka perjalanan kemudinya pun akan bermanfaat dan ia menjadi driver yang membawa perubahan baik.

Dari ketiga tokoh tersebut, dapat saya simpulkan bahwa kualitas hati dan adab seseorang tak lekang oleh waktu. Dari zaman onta sampai G*jek, inilah kualitas yang sesungguhnya perlu diasah terus menerus: memperbaiki adab.

Oke kembali ke judul yang mengandung unsur curhat. Saya mengalami sendiri, bahwa ketika menjalani pendidikan dari SD, SMP, MAN, kuliah, dan seterusnya, tingkat kesulitannya bertambah. Kesulitan itu bisa berupa faktor akademis maupun non akademis. Uniknya, semua membutuhkan jawaban yang sama sebagai solusinya yakni menghadapi dengan hati tenang, bersih, sopan, santun, kerja keras, pantang menyerah, sabar, dan rendah hati. Dan semakin sulit, semakin banyak pelajarannya.

Saya ceritakan salah satu momen di s2 saja yang masih segar di ingatan. Saat itu saya dalam kondisi hamil muda yang kondisinya parah, ldr dengan suami di Indonesia yang jarang bisa kontak (padahal udah ldr tetep aja susah kontak, nah malah curhat), uang beasiswa kadang telat, harus ngerjain tesis, dan juga UAS. Paket komplit candradimuka.

Kesulitan itulah yang membuat seseorang belajar untuk lebih mandiri dan kuat. Lebih bisa membagi waktu. Lebih bisa berempati atas kondisi orang lain. Lebih bisa berhati-hati. Menghindari bangga atas prestasi. Dan melihat kerja keras di balik sebuah pencapaian, bukan mau hasilnya saja. Menurut alhadis, kesulitan akan menggugurkan dosa dan memebeningkan hati. Semoga demikian adanya bagi kita semua.

Jadi apa hubungannya dengan perempuan ? Perempuan yang berpendidikan dan menempuh dengan cara yang baik seharusnya memiliki hati yang lebih welas asih dan etos kerja yang lebih cemerlang. Sebab ia telah dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah, sama sekali tidak mudah. Seharusnya, pendidikan itu mampu mencapai tujuannya yakni menjadikan hati akal dan fisik terasah tajam sehingga mampu terjun di berbagai bidang. Termasuk menjadi ibu rumah tangga.

Kalau ada yang bilang ibu rumah tangga adalah “hanya” atau “cuma” atau “butiran debu”, tolong hentikan ucapan itu. Saya merasakan bahwa kesulitan di sekolah dulu sangat sangat mengasah empati dan kesabaran yang menjadi bekal untuk saat ini. Artinya, inilah sekolah tiada henti. Jika dulu di sekolah kita terbiasa memiliki target belajar, sekarang saya dituntut punya target mendidik (mendidik lho bukan mengajar) manusia. Evaluasi tiada henti, sistem kontrolnya bias tapi hasilnya signifikan dan aplikatif. Ajib deh pokoknya.

Jadi, para perempuan cerdas berpendidikan, jangan mudah terprovokasi oleh stigma paradoks pendidikan tinggi versus kecerdasan berumah tangga. Sama aja kok, kita cuma perlu punya self control dan jeli melihat masalah, kemudian menetapkan langkah solusi yang progresif dan terukur. Nah kayak organisasi kan. Masalah masak, beres-beres rumah, ngasuh anak, pendidikan anak, finansial, dan melayani suami bisa diselesaikan dengan kecerdasan emosi dan sosial dan kretivitas intelektual. Please be a confident mom ! Semua butuh proses, jalani saja. Dan kalau ada yang membandingkan atau mencibir, alihkan emosi secara sehat dan jawablah dengan bukti. Percayalah bahwa omongan mereka tidak membahayakan, tetapi respon yang gegabah lah yang membahayakan.

Dan para lelaki tolong tidak perlu takut dengan tulisan ini dan dengan perempuan cerdas atau alpha female. Insyaallah mereka telah mampu mengatasi roller coaster kehidupan pendidikan yang sulit dan penuh tantangan. Dan rumahtangga? Sama aja. Sama-sama tidak bisa diprediksi. Yang penting adalah kekuatan dan saling menguatkan.

Satu lagi. Apapun pendidikan dan pengalaman kita, semoga kita tetap mampu meneladani nasehat gurunya imam syafii. Sebab roti yang keasinan tidak akan dimakan. Ilmu yang disampaikan dengan kebanggan dan arogan tidak akan tercerna. Semuanya, terbuang saja.

Stay humble and be awesome.

 

Regards,

signature yosay aulia blog

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s