Budaya Membaca di Belanda

Beberapa hari lalu saya membaca notes dari Om Hernowo Hasim perihal budaya literasi suatu bangsa. Ada dua fakta yang (sebenarnya tidak terlalu) mengejutkan. Pertama, Indonesia menempati peringkat ke 60 dari 61 negara. Kedua, setelah saya mencari negara tanah kelahiran anak saya, tersebutlah ia di peringkat 10. Ya, Belanda menempati urutan 10 besar dalam hal budaya literasi. Tidak mengherankan.

Adalah saya seorang perempuan yang terharu biru ketika anaknya mendapatkan surat cinta dari perpustakaan. Surat itu berisi: surat pemberitahuan bahwa Fatih sudah bisa mendaftarkan diri sebagai anggota perpustakaan kota secara gratis dan keanggotaanya juga gratis selama 18 tahun, formulir pendaftarannya, dan souvenir berupa seperangkat buku bayi. Ya, sebagai anak yang tumbuh di negara berperingkat (masih) ke-60, tentu itu adalah kemewahan bagi saya. Ah beruntungnya si baby fatih ini alhamdulillah..

Bagaimana perpustakaan ini tahu bahwa di rumah saya ada seorang bayi berusia sekian (yang sudah tepat dibacakan buku, waktu itu 4 bulan)? Jawabannya adalah BSN. Apakah itu? Semacam nomor penduduk (KTP) yang merekam segala hal. Mulai dari kelahiran, kegiatan belanja (iya banget, bahkan ikea pun tahu BSN saya), riwayat kesehatan, asuransi, dan kegiatan posyandu.Termasuk hal-hal lain terkait kependudukan seperti pajak dan gaji, tapi tidak saya bahas disini.

BSN diberikan maksimal 3 hari sejak seorang bayi lahir di Belanda. Begitu ia terdaftar dan mendapatkan nomor BSN, maka sistem akan mulai mengaitkan dan merekam semua kegiatan. Yap, untuk hal ini, posyandu, dinas vaksinasi, dokter umum, asuransi, dinas sosial, dan perpustakaan sudah mendapatkan notifikasi tentang kelahiran si bayi. Kemudian, semua lembaga akan mulai mengirimkan surat dan menjelaskan tentang sistem kerja mereka.

Nah, perpustkaan ini rupanya juga bekerja sama dengan posyandu. Posyandu akan mengabarkan bahwa si bayi telah berusia sekian bulan dan sudah bisa dirangsang secara visual, sehingga perpustakaan akan mengirim surat cinta tersebut. Posyandu juga menyediakan formulir pendaftaran keanggotaan perpustakaan bagi bay-bayi pindahan dari kota lain.

Kemanjaan ini tentu tidak saya sia-siakan. Fatih segera saya daftarkan dengan membawa formulir yang sudah diisi dan prosesnya hanya 5 menit sampai dikatakan “ya, Fatih sudah bisa pinjam buku sekarang. Ini kartunya, berlaku sampai 18 tahun.” Kemudian petugas akan membawa kami tour bibliothek dan menunjukkan bagian buku anak-anak. Setiap saya libur, saya selalu berusaha untuk membawa Fatih ke sana. Walaupun akhirnya dia lebih suka berantakin buku atau main wahana anak-anak di perpus, saya biarkan saja. Yang penting ia mulai mendapatkan kesan bahwa budaya literasi sangatlah menyenangkan. BIasanya saya menghabiskan waktu 1 jam untuk memilih-milih buku dan membacakannya di sana. Kemudian saya akan meminjam beberapa buku untuk dibawa pulang.

Saya dan Fatih bukanlah satu-satunya yang ada di perpustakaan. Ada banyak anak-anak mulai dari yang bayi sampai remaja, bahkan para lansia. Uniknya, para anak biasanya didampingi orangtuanya untuk memilih, dibacakan buku, diajak bermain, dan meminjam buku untuk dibawa pulang. Buku yang dipinjam pun bukan hanya satu atau dua, tapi bisa satu koper! Luar biasa memang budaya membaca mereka. Suatu kali saya pernah mengabadikan momen itu dengan ponsel saya, dan mereka banyak yang memandang sebelah mata. Apa sebabnya? karena mereka semua asik membaca buku (bukan main hape!) Oh, betapa malunya saya saat itu. Ah, rupaya budaya literasi juga cukup berpengaruh kepada penggunaan teknologi secara bijak.

Ya, inilah cerita saya. Anak kecil yang dulu sangat suka bermain di perpustakaan dan menemukan dunianya bersama buku. Anak kecil yang selalu sukses meluluhkan hati orangtuanya ketika setiap minggu mengajak ke toko buku dan membeli 4-5 buku. Saya ingat, saat masih usia sekolah, beberapa teman sering minta tolong untuk berdiplomasi dengan guru bila ada hal-hal yang kurang menguntungkan anak-anak kecil (heheh). Kata mereka, “aku gak bisa ngomongnya (ke pak guru/ bu guru)”. Sekitar dua dekade kemudian, anak itu merantau ke negara yang budaya literasinya jauh di atas negara asalnya. Apa yang ia temukan? Bisu. Dia bisu tak bisa berkata-kata karena menemukan betapa tingginya bahasa orang-orang baru ini, bahkan ketika marah. Ya, kebisuan itu membawanya untuk berani mencoba karena tak akan ada orang yang meremhkannya saat mencoba. Kebisuannya mendorong dia untuk berlatih, berdiskusi, bahkan menyampaikan ketidak setujuan. Dan baiknya, tidak ada yang perlu tersinggung karena semua disampaikan dengan bahsa yang tinggi dan sopan. Jujur, saya di sini jaraaaaaang sekali mendengar orangtua meneriaki anaknya. Kenapa? karena mereka bisa mempersuasi anaknya dengan bahasa yang tinggi, bukan nada bicara yang tinggi.

Ah, semoga cita-cita saya untuk membuat hal serupa di Indonesia bisa tercapai. Memanjakan anak-anak dengan bacaan berkualitas.

 

 

Sebab bukan suara petir yang menumbuhkan biji, tapi hujan yang lebat. Tinggikan bahasamu, bukan nada bicaramu.

 

Regards,

signature yosay aulia blog

4 thoughts on “Budaya Membaca di Belanda

  1. Pingback: Asiknya Literasi di Belanda – LOVE YOUR LIFE

Leave a comment