catatan tiga tahun lalu, saat melahirkan anak pertama kami: Fatih Gunadharma Ali.
Semoga bermanfaat bagi para ibu yang akan melahirkan baik di luar maupun di dalam negeri.
Melahirkan adalah pengalaman paling dahsyat dan menakjubkan ! Setelah 38 minggu 5 hari ada sebuah janin yang bertumbuh kembang menjadi manusia yang memiliki jiwa dan ruh,manusia itu akhirnya lahir. Saya melahirkan seorang manusia ! Menjadi seorang ibu ! Saya tidak pernah membayangkan dan hamper tidak percaya atas apa yangtelah saya lalui dan peran baru yang diamanahkan kepada saya.
Semua berawal dari pukul 23.49 malam CET, ketika itu saya dan suami sudah berbaring di tempat tidur, hendak memejamkan mata. Setelah bercanda dan mencium satu sama lain, saya tidur menghadap ke kanan, hingga tiba-tiba.. Cuur! Kantung ketubansaya pecah dan air ketubannya keluar. Saya yakin saja, meskipun belum pernah melahirkan sebelumnya, bahwa itu air ketuban bukan air urin atau hasil defekasi. Sensasinya seperti ada balon berisi air yang pecah dan air keluar tanpa bisa dibendung, keluar dari jalan lahir. Saya langsung merasa, inilah saatnya! Saatnya perjuangan akbar itu akan bermula.
Suami bergegas mengecek kelengkapan koper yang sudah dipersiapkan sejak kehamilan minggu ke 32, menelpon bidan, dan sesuai permintaan saya: memperdengarkan murottal. Saya berinisiatif menghubungi teman saya yang seorang dokter untuk dibantu memantau kondisi persalinan, periode kontraksi, posisi yang diperbolehkan, dan lain lain. Sesuai petunjuk bidan dan informasi dari teman saya, suami mencatat periode kontraksi saya (durasi dan jarak antar kontraksi). BIla sudah mencapai kondisi 30 detik kontraksi dengan jarak 5 menit, maka itulah saatnya saya ke rumah sakit. Selama masa menunggu dari bukaan awal hingga bukaan 5, saya menghubungi orangtua, keluarga, dan sahabat-sahabat saya untuk memohon doa. Alhamdulillah mereka memberikan support yang luar biasa meskipun tidak hadir secara fisik.
Pukul04.00 CET
Kontraksi sudah mencapai level sakit banget setiap 5 menit. Rasanya seperti kontraksi saat haid hari pertama, tapi lebiihhh sakit, terjadi berkali-kali, sampai saya menggenggam tangan suami saya erat2 untuk mengalihkan rasa sakit. Saat itu, air ketuban telah merembes ke seluruh penjuru sprei, untung saya sudah memasangalas plastik di bawah sprei. Darah sudah keluar, dan kepala bayi sudah mulai menyundul keluar. Saat bidan datang, ia menanyakan, bagaimana rasanya? “painfuuuullll”.Alhamdulillah bidan yg bernama Fena ini super baik bak malaikat. Ia hanya tersenyum, menguatkan saya, memberi afirmasi positif, dan memberi saran tanpa membuat tersinggung heheh. Ia mengingatkan, saat saya sudah terlalu merasa sakit hingga lupa, untuk meengatur nafas saat sedang kontraksi. Fena kemudian memeriksa level dilatasi (bukaan) persalinan saya, yang surprisingly sudahmencapai level 5. Dia menawarkan untuk tetap di rumah atau ke rumah sakit saat itu juga. Tentu saya langsung minta ke rumah sakit dan minta painkiller (morfin) untuk mengurangi efek sakit dari kontraksi. Setelah menelpon dan memastikan ada kamar bersalin yang tersedia (Alhamdulillah ada, karena kelahiran ini 12 hari lebih cepat dari perkiraan), kami bergegas menelpon taksi (sebenarnya Fena yang menelpon dan minta sesegera mungkin karena butuh untuk persalinan).
05.00CET
Kami segera menuju Martini Ziekenhuis lengkap dengan segala kebutuhan persalinan untuk ibu dan bayi di dalam koper, alquran, uang koin untuk kursi roda, uang cash, dokumen bidan dan asuransi, dan kamera! Ada percakapan mengesankan dengan bapak supir taksi bergaya necis. Begini, “so you are hoing to have a baby, but you dont look happy”. Dalam hati saya jawab: SAKIITT !!!. Dih nih pak sopir necis necis rada ga peka deh. Gapapa yang penting selamat. Rumah sakit dicapai dalam 10menit, dan 5 menit kemudian kami tiba di ruang bersalin. Enakeun, Alhamdulillah. heheh. “You are in the right place now”. Selain Fena, ada Lidya suster baik hati, ibu ginekolog yang tidak diketahui wajah dan namanya, serta bidan rumah sakit yang saya lupa namanya. Para petugas medis ini berdiskusi sebentar dalam bahasa belanda, kemudian menyampaikan bahwa saya harus diobservasi (kondisi jantung bayi dan kontraksi ibu) sebelum diberi painkiller. Setelah 30 menit observasi, dipastikan semua baik dan saya diijinkan untuk menggunakan painkiller, Fenapamit pulang dan akan kembali setelah level dilatasi mendekati kelahiran. Saya tentu mengizinkan karena saya telah mengganggu istirahatnya sejak jam 12 malam tadi. Tapi….Setelah Fena pulang, dan bidan RS memeriksa kondisi dilatasi sebelum menyuntikkan morfin, tak disangka saya sudah mencapai level 8. “There’s no need to give you painkiller anymore, because it is almost there”
Antara senang karena sudah hampir lahir, tapi merasa tidak pasti kapan rasa sakit itu berakhir. Bismillah, kuat kuat kuat.. saat itulah masa paling dekat dengan kematian, inget mamah, dan grogi kalau dipanggil Allah saya akan jawab apa. Level sakit yang sudah tidak bisa ditangisi lagi. Yang bisa dilakukan adalah melakukan yang terbaik. Saat itu kondisi psikologis dan tubuh juga sangat sensitive.Sedikit tekanan di tubuh atau hal yang tidak disukai secara emosional akan berdampak pada mood heuheu. Untungnya suami sangat sabar dan para petugas medis sangat positif.
Akhirnya Fena datang lagi, setelah dikabari tentang kondisi saya. Ia bahkan tidak menyangka akan secepat itu. Dilatasi level 8-9, rasanya mau mengejan. Walaupun belum diizinkan, saya tetap mengejan, berakibat pada hemoroid pasca melahirkan. Tapi ternyata hal itu bagus juga sih, karena jadi indicator bahwa saya sudah mencapai level 9, dan para bidan mulai bersiap-siap menyambut sang bayi. Tempat tidur disiapkan, timbangan disiapkan, sarung tangan digunakan, alat-alat jahit dipersiapkan, semuanya menjadi pemicu semangat saya untuk bertahan dan memberikan tenaga terbaik.
Level10. Saya diinstruksikan untuk memasang posisi sit up, dan saat kontraksi terjadi, saya harus mengejan sekuat-kuatnya tanpa bersuara untuk memaksimalkam tenaga ke jalan lahir (awalnya sayabertakbir untuk melepaskan rasa sakit, tapi ternyata itu membuat tenaga tidak tersalurkan dengan optimal ke jalan lahir). Akhirnya dzikirnya teriak dalam hati saja. Hheheh. Saya perlu mengejan berkali-kali, sempat tidur di antara kontraksi untuk memulihkan tenaga yang hanya tersisa serpihan-serpihan butira ndebu, merasakan kepala bayi masuk lagi kalau kontraksi saya tidak cukup kuat,dan kadang merasa putus asa. Untungnya Fena and the gang baik bangeeeettt…. Mereka tidak memaahi saya sedikitpun, atau memberikan pernyataan yang menjatuhkan mental, mereka selalu mengatakan “you are doing great, yosi”, atau mereka membimbing saya mengatur nafas saat kontraksi, atau mengatakan “push yosi, push harder, harder.. the baby is coming”, menyarankan untuk tidak bersuara saat mengejan, dan mengatakan “I know it is painful, but you can think that you will have your baby here (menunjuk ke dada), after all these things. Think about that”. Setelah pertarungan dan kontraksi yang entah keberapa, akhirnya saya merasakan ada mahluk keluar dari jalan lahir saya, diiringi tangisan yang memecah segala lelah dan penat. Dan ketika saya melihat bayi (yang tidak) mungil (untuk ukuran tubuh saya) lengkap dengan tali pusar yang telah dipotong dariplasenta dan dibawa mendekat ke dada saya, air mata haru mengalir tanpa komando dari Fena.
Ketika bayi itu ada di dada saya untuk IMD, para petugas medis langsung mencari kamera, mengabadikan momen yang sangat monumental (hahaha), di saat saya masih mengumpulkan nyawa dan tak peduli apa yang terjadi. Saat euphoria itulah, suami saya mengumandangkan azan dan iqomah di telinga bayi. Mereka yang tengah jeprat jepret sana sini tak menghiraukan apa yang kami lakukan. Foto lebih penting bagi mereka. Buat saya sih asik-asik aja karena saya jadi punya foto yang beda dari proses persalinan lain. Hehhehe.
Selang 10 menit, sang bayi sudah berhasil menemukan puting ASI, kontraksi dimulai lagi, saat itulah plasenta dan kantong amnion dikeluarkan bersama darah dan dinding rahim sisa kehamilan. Setelah semua bersih, bayi ditimbang, dicek dengan APGAR test, dan dipakaikan baju yang sudah disiapkan. Saat itulah saya ditanya, “do you already have the name for him?”
“Fatih”
“what does it mean?”
“The Victory”
“Yes,it is really the victory. He is a beautiful baby”.
Setelah Fatih ditimbang, saya dijahit dengan 5 jahitan, dan semua dibersihkan, Fena pamit pulang, dan saya mengucapkan terima kasih kepada para tim medis. Saya tertidur pulas. Membayar sleepless night semalam sebelumnya dan perjuangan yang menguras energi.
Itulah cerita tentang kelahiran Fatih Gunadharma Ali dengan berat 3400 gram, panjang50 cm (ini diukur sendiri) yang lahir pada tanggal 4 Desember 2014 pada pukul 8.00 CET di Martini Ziekenhuis, Groningen.
Tips persiapan sebelum persalinan
- persiapkan dokumen terkait persalinan, sepeerti asuransi, rekam medis, dan dokumen kraamzorg (untuk di Belanda)
- persiapkan kesehatan ibu, seperti olahraga rutin, latihan pernafasan, dan latihan kelenturan karena persalinan adalah proses yang sangat menguras tenaga dan membutuhkan stamina dan ketahanan
- pastikan kondisi bayi sudah berada di jalan lahir saat usia kandungan 32 week
- perbanyak makan buah dan sayur serta air putih untuk menghindari hemoroid (wasir) dan sulit defekasi
- perhatikan kebersihan area jalan lahir
- persiapkan koper yang berisi barang-barang untuk proses persalinan di rumah sakit sejak week 32
- jaga asupan nutrisi dan jangan merasa lapar (karena proses persalinan dapat dimulai kapan saja tanpa disangka, dan selama proses persalinan dibutuhkan tenaga yang cukup. merasa lapar membuat ibu merasa kurang tenaga)
- tetap optimis, dan banyak berdoa untuk dapat melahirkan normal. pikiran positif sangat membantu kelancaran persalinan.
- komunikasikan kepada suami tentang apa yang bisa dilakukannya selama persalinan dan pasca persalinan (misal: memasak)
Semoga catatan ini bermanfaat dan tidak membuat ciyut nyali para moms soon to be 🙂
Selanjutnyaakan diceritakan arti di balik namanya dan cerita pasca kelahiran di negeri tulip ini.
Regards,
Pingback: Hamil dan Bersalin di Belanda – LOVE YOUR LIFE